Kamis, 30 Juni 2011

Fenomena Ulat Bulu Ada Perubahan Ekosistem secara Global

Peneliti Madya Lab Entomologi Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang, Bedjo, menunjukkan salah satu contoh ulat bulu yang sudah mati oleh serangan cendawan Beauveria bassiana, organisme entomo-patogen, atau penyakit yang menyerang hama pengganggu, Selasa (13/4/2011) di Malang. Ulat bulu yang diidentifikasi di Kabupaten Probolinggo menyerang pohon mangga, terbukti secara alamiah mati oleh serangan cendawan yang menyerang tubuh bagian luar, serta virus yang termakan oleh ulat

JAKARTA, KOMPAS.com — Peningkatan populasi ulat bulu yang sangat tinggi belakangan ini diduga turut disebabkan perubahan ekosistem secara global. Salah satu indikasinya, peningkatan tersebut merata di sejumlah daerah di Indonesia.
Hal ini dikemukakan oleh Prof Dr Deciyanto Soetopo, Peneliti Utama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Balitbang Kementan), di lokasi habitat ular bulu, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Rabu (13/4/2011).
"Secara global, ada gejala yang sama. Dari lingkungan biotik maupun abiotik, faktor penghambat atau penekan perkembangan ulat bulu semakin berkurang. Faktor biotik, misalnya, predator ulat bulu semakin langka. Sementara faktor abiotiknya, curah hujan yang tinggi sepanjang tahun lalu justru mengakibatkan predatornya berkurang," papar Deciyanto.
Ia mencontohkan, di lokasi habitat ulat bulu di Tanjung Duren, Jakarta Barat, hampir tidak ditemukan spesies pemangsa ulat bulu, seperti burung, sejenis serangga seperti capung, dan semut. Parasitoid atau mikroorganisme parasit yang hidup di telur ataupun di tubuh ulat bulu pun belum terlihat.
Tanda-tanda tersebut menunjukkan adanya gangguan ekosistem, yakni hilangnya keseimbangan alami dalam lingkungan hidup.
Perubahan iklim juga dipandang sebagai salah satu pemicu pertumbuhan drastis ulat bulu. Curah hujan yang terlampau tinggi, misalnya, tidak terlalu berpengaruh terhadap ulat bulu, tetapi hal itu justru menjadi faktor penghambat perkembangan spesies pemangsanya.
Dengan adanya indikasi yang sama di berbagai daerah yang dilanda peningkatan populasi ulat bulu, Deciyanto menyimpulkan telah terjadi perubahan ekosistem secara global. "Gejala-gejala ini kan terlihat di mana-mana, termasuk di sini. Faktor penghambat populasi ulat bulu sudah semakin langka. Kita bisa berasumsi ada perubahan ekosistem secara global, baik lingkungan biotik (bernyawa) maupun abiotik (tak bernyawa)," jelas Deciyanto.
Menurutnya, cara terbaik untuk mengatasi peningkatan populasi ulat bulu adalah melalui pengendalian alami, yakni tersedianya jumlah pemangsa dalam jumlah yang seimbang. "Tapi, kalau meningkat drastis seperti saat ini, ya kita pakai cara darurat, yaitu penyemprotan insektisida, seperti pestisida," tukasnya.
Meski demikian, Deciyanto mengingatkan, penggunaan insektisida pun harus diperhitungkan kadarnya. Jika tidak, predator dan parasitoid ulat bulu bisa ikut musnah. Hal ini berbahaya karena kecepatan pertumbuhan ulat bulu jauh lebih tinggi dari spesies predatornya.

Entri Populer

VIDEO