Meskipun telah lama dipahami bahwa penyuluhan merupakan proses pendidikan, tetapi dalam sejarah penyuluh-an pertanian di Indonesia, terutama selama periode pemerin-tahan Orde Baru, kegiatan penyuluhan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kekuasaan melalui kegiatan yang berupa pemaksaan, sehingga muncul gurauan: dipaksa, terpaksa, akhirnya terbiasa.
Terhadap kenyataan seperti itu, Soewardi (1986) telah mengingat kepada semua insan penyuluhan kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses pendidika. Diakui, penyuluhan melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama untuk mengubah perilaku masyarakat, tetapi perubahan perilaku yang terjadi akan berlangsung lebih kekal. Sebaliknya, meskipun penyuluhan melalui pemaksaan dapat lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan.
Terhadap kenyataan seperti itu, Soewardi (1986) telah mengingat kepada semua insan penyuluhan kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses pendidika. Diakui, penyuluhan melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama untuk mengubah perilaku masyarakat, tetapi perubahan perilaku yang terjadi akan berlangsung lebih kekal. Sebaliknya, meskipun penyuluhan melalui pemaksaan dapat lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan.
Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak kita jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, Ensminger (1962) mencatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan.
Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: teach, truth, and trust (pendidikan, kebenaran dan keperca-yaan/keyakinan). Artinya, penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya.
Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesem-patan adalah, yang dikutip Kelsey dan Hearne (1955) yang menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya.
Karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluhan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help themselves).
Karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluhan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help themselves).
Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa:
1) Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, mengge-rakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.
2) Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya krea-tivitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
3) Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.Dari kalangan pakar Indonesia, tercatat:
Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan, di Indonesia dikenal adanya falsa-fah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi:
a) Ing ngarso sung tulodo, mampu memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat sasarannya;
b) Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba;
c) Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti ke-inginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kese-jahteraan hidupnya.
b) Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba;
c) Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti ke-inginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kese-jahteraan hidupnya.
Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupa-kan salah satu sistem pendidikan, Mudjiyo (1989) mengingat-kan untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidik-an yang memiliki falsafah: idealisme, realisme dan pragmatis-me, yang berarti:
a) penyuluhan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis.
b) Di samping itu, penyuluhan pertanian harus selalu meng-acu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat dite-mui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keada-an yang dihadapi.
c) Meskipun demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.
b) Di samping itu, penyuluhan pertanian harus selalu meng-acu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat dite-mui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keada-an yang dihadapi.
c) Meskipun demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.
Lebih lanjut, karena penyuluhan pada dasarnya harus merupakan bagian integral dan sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan pembangunan, Margono Slamet (1989) menekankan perlunya falsafah penyuluhan yang harus berakar pada falsafah negara Pancasila, terutama yang berka-itan dengan sila-sila: Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, jika petani (sebagai sasaran utama penyuluhan pertanian) diminta untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan produk-sinya. Seluruh bangsa Indonesia juga harus mau mengangkat harkat kaum taninya demi kemanusiaan dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan kepada Yang Maha Esa, menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya persa-tuan bangsa Indonesia.
Dalam pengertian di atas, perlu dipahami bahwa, petani bukanlah orang bodoh dan karena itu tidaklah pantas untuk tetap dibiarkan atau bahkan dibuat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Petani haruslah dilihat seba-gai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengem-bangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang tidak mereka kehendaki.
Karena itu, pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu tidak saja mengem-bangkan potensi petani tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembang-kan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan. Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus didukung oleh kegiatan lain yang dapat menjadikan petani (yang selama ini bodoh dan miskin itu) sebagai petani-petani tangguh. Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh kesabaran sanggup tahan hidup dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang terus menerus mampu mengem bangkan potensi yang dimilikinya untuk dengan kreatif berswakarsa dan berswadayaa dalam meningkatkan produkti-vitas dan pendapatannya demi perbaikan kesejahteraan keluar-ga dan masyarakatnya.
Karena itu, pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu tidak saja mengem-bangkan potensi petani tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembang-kan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan. Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus didukung oleh kegiatan lain yang dapat menjadikan petani (yang selama ini bodoh dan miskin itu) sebagai petani-petani tangguh. Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh kesabaran sanggup tahan hidup dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang terus menerus mampu mengem bangkan potensi yang dimilikinya untuk dengan kreatif berswakarsa dan berswadayaa dalam meningkatkan produkti-vitas dan pendapatannya demi perbaikan kesejahteraan keluar-ga dan masyarakatnya.
Sehubungan dengan falsafah penyuluhan pertanian yang berlandaskan pada falsafah Pancasila, Soetrisno (1989) minta agar juga mengkaitkannya dengan motto bangsa yang: Bhineka Tunggal Ika yang membawa konsekuensi pada:
1) perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat “regulatif sentralistis” menjadi “fasilitatif partisipatif”, dan
2) pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai “local agriclutural practices”.
1) perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat “regulatif sentralistis” menjadi “fasilitatif partisipatif”, dan
2) pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai “local agriclutural practices”.
Pemahaman seperti itu, mengandung pengertian bahwa:
1) Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh per-aturan-peraturan dari “pusat” yang kaku, karena hal ini seringkali menjadikan petani tidak memperoleh keleluasa-an mengembangkan potensi yang dimilikinya. Demikian juga halnya dengan administrasi yang terlalu “sentralistis” seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi per-masalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu “petunjuk/restu” dari pusat.
Padahal, dalam setiap permasalahan yang dihadapi, peng-ambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali berdasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat “menyelamatkan keluarganya”. Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisyatifnya sendiri. Di lain pihak, administrasi yang terlalu “regulatif” seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan bagi usahataninya.
Padahal, dalam setiap permasalahan yang dihadapi, peng-ambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali berdasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat “menyelamatkan keluarganya”. Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisyatifnya sendiri. Di lain pihak, administrasi yang terlalu “regulatif” seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan bagi usahataninya.
2) Penyuluh, selain memberikan “ilmu”nya kepada petani, ia harus mau belajar tentang “ngelmu”nya petani yang se-ringkali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasional adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat). Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses “trial and error” dan teruji oleh waktu.
Berkaitan dengan falsafah “helping people to help them-selves” Ellerman (2001) mencatat adanya 8 (delapan) peneliti yang menelusuri teori pemberian bantuan, yaitu:
1) Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemerintah (Albert Hirschman), melalui proses pembelajaran tentang: ide-ide baru, analisis keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi konfrontasi/kete-gangan yang terjadi: antara aparat pemerintah dan masya-rakat, antar sesama aparat, dan antar kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dan yang menimati ke-untungan dari kebijakan pemerintah.
2) Hubungan Guru dan Murid (John Dewey), dengan memberikan:
• kesempatan untuk mengenali pengalamanannya,
• stimulus untuk berpikir dan menemukan masalahnya sendiri,
• memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian”
• tawaran solusi untuk dipelajari
• kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung
• kesempatan untuk mengenali pengalamanannya,
• stimulus untuk berpikir dan menemukan masalahnya sendiri,
• memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian”
• tawaran solusi untuk dipelajari
• kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung
3) Hubungan Manajer dan Karyawan (Douglas McGregor), melalui pemberian tanggungjawab sebagai alat kontrol diri (self controle)
4) Hubungan Dokter dan Pasien (Carl Rogers), melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri.
Uji-coba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.
Uji-coba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.
5) Hubungan Guru Spiritual dan Murid (Soren Kierkegaard), melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat diketahui oleh yang mengalaminya (diri sendiri).
Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar
Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar
6) Hubungan Organisator dan Masyarakat (Saul Alinsky), melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi, dan mengembangkan keyakinan (rasa percaya diri) untuk memecahkan masalahnya sendiri.
7) Hubungan Pendidik dan Masyarakat (Paulo Freire), melalui proses penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri.
8) Hubungan Agen-pembangunan dan Lembaga Lokal (E.F. Schumacher), melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikanperbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. (Azisturindra's blog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR