Sabtu, 20 November 2010

Harus Ada Intervensi Gizi

Tingkat kepedulian akan gizi di Tanah Air dinilai masih rendah. Hal itu terlihat jelas dari status gizi masyarakat Indonesia. Status baik dicerminkan dengan berat badan ideal atau indeks masa tubuh, sedangkan yang tidak baik biasanya mengindikasikan kelebihan atau kekurangan gizi yang bisa menyebabkan penyakit.

Menurut ahli pangan dan gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Made Astawan, dewasa ini, permasalahan yang terjadi di Indonesia terdapat pada masalah gizi ganda. Yakni kasus kekurangan gizi di pedesaan dan kelebihan gizi di perkotaan.

Kontradiktif tentu saja. Di saat banyak masyarakat yang kurus karena kekurangan gizi, di tempat lain banyak orang menderita obesitas dengan penyakit regeneratif yang timbul karena menurunnya fungsi-fungsi organ. Terlalu gemuk menyebabkan orang bisa terkena penyakit lever, jantung, atau ginjal.

“Hal yang sangat berperan adalah faktor ekonomi dan faktor pendidikan gizi. Banyak orang yang secara finansial cukup, namun tingkat pengetahuan gizi rendah, maka jadi obesitas. Ada juga orang yang memang kurang secara finansial sehingga gizinya pun kurang,” ujar Made.

Untuk mengubah keadaan tersebut, Indonesia harus melakukan intervensi gizi. Made mengakui hal itu tentunya menelan biaya yang tinggi. Salah satu contohnya adalah dilakukannya intervensi vitamin A. Anak-anak diberi vitamin A setiap enam bulan sekali di posyandu. Dengan adanya edukasi itu, diharapkan bisa mengubah pola pikir masyarakat.

Selain itu, ia menyarankan juga untuk mengganti konsep empat sehat lima sempurna dengan konsep menu seimbang. Konsep empat sehat lima sempurna diperkenalkan karena dahulu dinilai paling sederhana dari sisi bahasa sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat desa ataupun kota . Padahal, secara substansi istilah itu salah.

Sebaiknya, energi yang didapat tubuh dari makanan seimbang dengan yang dikeluarkan. Seorang pekerja yang lebih banyak menggunakan otak untuk bekerja, membutuhkan energi antara 2.000-2.500 kalori. Berbeda halnya dengan mereka yang lebih banyak beraktivitas dengan menggunakan otot dan tenaga seperti atlet dan pekerja lapangan. Dalam konsep empat sehat lima sempurna terdahulu, disarankan untuk menyempurnakan gizi dengan mengonsumsi susu. Made menilai konsep itu tidak mengena karena protein banyak ditemui di berbagai jenis makanan lain, seperti daging, ikan, dan sumber protein hewani atau nabati lainnya.

Dalam konsep gizi, tak ada satu pun makanan yang bisa mencakup semua gizi yang diperlukan tubuh. Namun, yang harus dipahami adalah sifat dari bahan pangan itu sendiri yang mengandung kelebihan dan kekurangan. Ada yang tinggi dan rendah.

“Untuk itu, dalam kehidupan, kita harus meramunya melalui konsep komplementer, yakni saling melengkapi. Contohnya kacang kedelai kaya akan lisin, sebaliknya beras kaya akan metionin, namun miskin lisin. Sehingga konsumsi nasi dan tempe sudah cukup untuk kebutuhan asam amino yang saling melengkapi. Sama halnya seperti bubur kacang hijau yang dilengkapi dengan ketan hitam,” ungkapnya.

Selanjutnya, ada konsep suplementasi, yaitu menambahkan sesuatu yang kurang pada bahan pangan tertentu, untuk mempertinggi kadarnya. Bahan pangan protein asal hewani, menurut Made, memiliki komposisi asam amino lebih baik daripada protein nabati, karena lebih mudah untuk dicerna dan memiliki daya serap tinggi. Selain itu, dalam pangan nabati terdapat unsur-unsur penghambat, seperti adanya serat yang mengikat, yakni antigizi dan nutrisi yang mengandung antitripsin dan tanin. Sementara makanan yang mengandung protein hewani mengandung zat besi tinggi sehingga bisa meningkatkan stamina.

“Nabati lebih rendah dibandingkan hewani. Namun, di antara semua nabati, kedelai yang paling baik. Kacang kedelai merupakan paling unggul karena kadar asam aminonya paling lengkap di antara nabati lainnya. Kita beruntung bisa mengenal sumber protein dari makanan asal kedelai, seperti tahu dan tempe, termasuk susu kedelai,” tutur Made.

Pola makan
Demi menjaga hidup sehat dan stamina, pola makan perlu menjadi perhatian utama. Pola makan yang dianjurkan baiknya sesuai dengan piramida makanan, dengan komposisi energi yang cukup.

“Hal itu terdiri dari 60-70 persen karbohidrat, 20-25 persen lemak, 15-20 persen protein dan 6-11 persen karbohidrat seperti nasi, roti dan jagung. Semua itu mampu mencukupi kebutuhan vitamin, mineral, dan serat. Untuk tingkat paling atas, yakni minyak, gula, dan lemak lebih baik sedikit saja untuk menerapkan pola hidup sehat,” ujarnya.

Paling penting adalah buah-buahan dan sayuran yang berwarna-warni, sepert hijau dari sayur, kuning dari jagung, serta putih, kuning, dan merah dari buah-buahan. Bila pola makan beragam dengan makanan beraneka warna, maka peluang hidup sehat sangatlah tinggi. [SP/Hendro Situmorang]

Made Astawan
Tempat Tanggal Lahir:
Singaraja, Bali, 2 Februari 1962
Pekerjaan:
- Dosen di Dep Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB
- Konsultan di industri pangan
- Penulis 35 buah buku di bidang pangan, gizi, dan kesehatan

Pendidikan: :
- Guru Besar (Profesor) di IPB, 2001
- Doktor bidang Kimia Pangan dan Gizi dari Tokyo, University of Agriculture, Jepang
- Magister Sains bidang Ilmu Pangan dari IPB, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR

Arsip Blog

Entri Populer

VIDEO