Istilah Pedagogi nampaknya tidak cocok dipakai untuk menjelaskan tentang ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Hal ini memunculkan suatu masalah yang tidak disadari bahwa dalam istilah pedagogi terdapat kata "Paid" yang berarti anak. Demikian juga dalam istilah pedagogi tentang konsep tujuan pendidikan, yaitu penyampaian pengetahuan pada anak‐anak. Atas dasar itulah sehingga pendidikan kemudian diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan. Mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyampaian ternyata kurang sesuai dengan perkembangan dan kehidupan manusia. Oleh karena itu dewasa ini telah muncul suatu teori baru cara membelajarkan orang dewasa yang dikenal dengan istilah Andragogi, yaitu suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar, yang secara prinsip asumsi yang digunakan berbeda dengan Pedagogi, terutama mengenai konsep diri, pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi terhadap belajar. Kata kunci: Andragogi, orientasi baru, pembelajaran
A. PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang belajar kebanyakan diperoleh dari pengalaman atau penelitian tentang belajar pada anak‐anakataupun binatang. Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang pengajaran, kebanyakan diperoleh dari pengalaman pengajaran anak‐anak dalam situasi di mana anak‐anak tersebut diwajibkan untuk
mengikuti suatu proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga‐lembaga pendidikan formal. Pelaksanaan proses belajar‐mengajar tersebut didasarkan pada definisi pendidikan sebagai suatu proses penyampaian kebudayaan. Definisi pendidikan tersebut pada dasarnya bersumber dari suatu istilah pendidikan yaitu Pedagogi. Istilah pedagogi ini berasal dari bahasa Yunani "paid' artinya anak dan "agogos" yang artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai Ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children).
Pengetahuan tentang belajar kebanyakan diperoleh dari pengalaman atau penelitian tentang belajar pada anak‐anakataupun binatang. Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang pengajaran, kebanyakan diperoleh dari pengalaman pengajaran anak‐anak dalam situasi di mana anak‐anak tersebut diwajibkan untuk
mengikuti suatu proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga‐lembaga pendidikan formal. Pelaksanaan proses belajar‐mengajar tersebut didasarkan pada definisi pendidikan sebagai suatu proses penyampaian kebudayaan. Definisi pendidikan tersebut pada dasarnya bersumber dari suatu istilah pendidikan yaitu Pedagogi. Istilah pedagogi ini berasal dari bahasa Yunani "paid' artinya anak dan "agogos" yang artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai Ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children).
Dalam perkembangan penggunaan istilah tersebut, muncul suatu masalah yaitu kata "anak" sebagai bagian integral dari pengertian istilah pedagogi telah hilang, sehingga dalam pemikiran manusia yang juga telah ditulis dalam buku‐buku pendidikan dan kamus, di mana istilah pedagogi diartikan sebagai seni dan ilmu mengajar. Bahkan dalam buku‐buku tentang pendidikan orang dewasa ditemukan istilah "Pedagogy of Adult Education". Orang rupanya tidak menyadari bahwa dalam istilah pedagogi terdapat kata "paid" yang berarti anak, sehingga istilah pedagogi sangat tidak cocok dipakai untuk menjelaskan tentang ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Masalah lain yang muncul sehubungan dengan pengertian yang ditarik dari istilah pedagogi ialah tentang konsep tujuan pendidikan, yaitu penyampaian pengetahuan pada anak‐anak. Atas dasar itu pendidikan kemudian diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan. Mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyampaian ternyata kurang sesuai dengan perkembangan dan kehidupan manusia. Selain itu, masalah yang timbul dalam pengertian pedagogi adalah adanya pandangan yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 20 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 40 tahun. Jika demikian halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan modern. Oleh karena itu pendidikan sekarang tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui. Dewasa ini di kalangan para ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika, suatu teori mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan pedagogi, maka teori barn tersebut di kenal dengan nama Andragogi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu "andr" yang berarti orang dewasa dan "agogos" yang berarti memimpin atau membimbing. Dengan demikian, andragogi dirumuskan sebagai suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.
B. ASUMSI ANDRAGOGI DAN PEDAGOGI
Ada perbedaan mendasar mengenai asumsi yang digunakan oleh Andragogi dan Pedagogi terutama dari aspek konsep diri, pengalaman, kesiapan belajar dan orientasi terhadap belajar. Asumsi itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
• Konsep Diri
Menurut Knowles, dalam pendekatan pedagogi peranan peserta didik bergantung pada guru. Dalam hal ini, guru diharapkan oleh masyarakat memegang tanggungjawab penuh untuk menentukan apa yang akan dipelajari oleh pada peserta didik, kapan waktunya belajar, bagaimana cara mempelajarinya, dan apakah suatu bahan telah selesai dipelajari atau belum. Sedangkan dalam pendekatan andragogi, proses pematangan manusia merupakan kewajaran bagi seorang individu untuk bergerak dari ketergantungan ke arah kemandirian. Perpindahan ini secara bertahap dan dengan kecepatan yang berbeda‐beda sesuai dengan orang dan dimensi kehidupannya. Para guru orang dewasa bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara gerakan ini. Orang dewasa mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam untuk mandiri, meskipun dalam situasi‐situasi tertentu bergantung pada pihak lain.
Menurut Knowles, dalam pendekatan pedagogi peranan peserta didik bergantung pada guru. Dalam hal ini, guru diharapkan oleh masyarakat memegang tanggungjawab penuh untuk menentukan apa yang akan dipelajari oleh pada peserta didik, kapan waktunya belajar, bagaimana cara mempelajarinya, dan apakah suatu bahan telah selesai dipelajari atau belum. Sedangkan dalam pendekatan andragogi, proses pematangan manusia merupakan kewajaran bagi seorang individu untuk bergerak dari ketergantungan ke arah kemandirian. Perpindahan ini secara bertahap dan dengan kecepatan yang berbeda‐beda sesuai dengan orang dan dimensi kehidupannya. Para guru orang dewasa bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara gerakan ini. Orang dewasa mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam untuk mandiri, meskipun dalam situasi‐situasi tertentu bergantung pada pihak lain.
• Pengalaman.
Peranan pengalaman yang dibawa peserta didik ke situasi belajar kurang bernilai. Hal itu mungkin hanya sebagai titik tolak. Pengalaman yang akan menjadi sumber belajar yang utama bagi peserta didik adalah pengalaman para guru, penulis buku, pencipta Audio‐Visual Aids dan ahli‐ahli lainnya. Karena itu, teknik utama yang digunakan adalah teknik penerusan atau pemindahan (ceramah, tugas dan sebagainya). Dalam andragogi, selama manusia tumbuh dan berkembang mereka menyimpan banyak pengalaman dan karena itu akan menjadi sumber yang tak habis‐habisnya untuk belajar, baik bagi mereka secara pribadi maupun bagi orang lain. Lagi pula orang memberikan arti yang lebih besar kepada pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman daripada yang diperoleh secara pasif. Karena itu teknik utama yang digunakan adalah teknik pengalaman (eksperimen, laboratorium, diskusi, pemecahan persoalan, pengalaman lapangan dan sebagainya).
• Kesiapan Belajar.
Orang siap mempelajari apapun yang dikehendaki masyarakat terutama sekolah untuk mereka pelajari, asalkan tekanan ini cukup berat bagi mereka. Sebagian orang yang sebaya siap untuk mempelajari bahan yang sama. Karena itu pelajaran hendaknya diatur ke dalam suatu kurikulum yang benar‐benar baku, dengan suatu penjenjangan yang seragam bagi semua peserta didik. Dalam andragogi, orang menjadi siap untuk mempelajari sesuatu bila mereka merasakan kebutuhan untuk mempelajari hal itu, dengan tujuan agar dapat menyelesaikan tugas atau persoalan hidup mereka dengan yang lebih memuaskan. Pendidik memegang tanggungjawab menciptakan kondisi dan menyediakan alat‐alat serta prosedur untuk membantu para peserta didik menemukan kebutuhan atau keingintahuan mereka. Dengan demikian program belajar hendaknya disusun menurut kategori penerapan hidup dan diurutkan sesuai dengan kesiapan belajar peserta didik.
• Orientasi Terhadap Belajar
Para peserta didik melihat pendidikan sebagai suatu proses untuk memperoleh bahan pelajaran, yang sebagian besar mereka anggap hanya akan berguna di kemudian hari. Karena itu kurikulum seharusnya diatur menjadi satuan-satuan pelajaran yang mengikuti urutan logika mata pelajaran bersangkutan. Jadi orientasi mereka berpusat pada mata pelajaran. Sebaliknya dalam andragogi, para peserta didik memandang pendidikan sebagai suatu proses pengembangan kemampuan untuk mencapai potensi kehidupan yang paripurna. Mereka ingin dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan apapun yang mereka peroleh saat ini untuk kehidupan esok yang lebih efektif. Karena itu, pengalaman belajar seharusnya disusun menurut kategori‐kategori pengembangan kemampuan. Jadi orientasi mereka terhadap belajar berpusat pada karya atau prestasi. Dari asumsi dasar tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa:
1. Orang dewasa mempunyai konsep diri, yaitu suatu pribadi yang tidak tergantung kepada orang lain yang mempunyai kemampuan mengarahkan dirinya sendiri dan kemampuan mengambil keputusan.
2. Orang dewasa mempunyai kekayaan pengalaman yang merupakan sumber yang penting dalam belajar.
3. Kesiapan belajar orang dewasa berorientasi kepada tugas‐tugas perkembangannya sesuai dengan peranan sosialnya.
4. Orang dewasa mempunyai perspektif waktu dalam belajar, dalam arti secepatnya mengaplikasikan apa yang dipelajarinya.
Peranan pengalaman yang dibawa peserta didik ke situasi belajar kurang bernilai. Hal itu mungkin hanya sebagai titik tolak. Pengalaman yang akan menjadi sumber belajar yang utama bagi peserta didik adalah pengalaman para guru, penulis buku, pencipta Audio‐Visual Aids dan ahli‐ahli lainnya. Karena itu, teknik utama yang digunakan adalah teknik penerusan atau pemindahan (ceramah, tugas dan sebagainya). Dalam andragogi, selama manusia tumbuh dan berkembang mereka menyimpan banyak pengalaman dan karena itu akan menjadi sumber yang tak habis‐habisnya untuk belajar, baik bagi mereka secara pribadi maupun bagi orang lain. Lagi pula orang memberikan arti yang lebih besar kepada pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman daripada yang diperoleh secara pasif. Karena itu teknik utama yang digunakan adalah teknik pengalaman (eksperimen, laboratorium, diskusi, pemecahan persoalan, pengalaman lapangan dan sebagainya).
• Kesiapan Belajar.
Orang siap mempelajari apapun yang dikehendaki masyarakat terutama sekolah untuk mereka pelajari, asalkan tekanan ini cukup berat bagi mereka. Sebagian orang yang sebaya siap untuk mempelajari bahan yang sama. Karena itu pelajaran hendaknya diatur ke dalam suatu kurikulum yang benar‐benar baku, dengan suatu penjenjangan yang seragam bagi semua peserta didik. Dalam andragogi, orang menjadi siap untuk mempelajari sesuatu bila mereka merasakan kebutuhan untuk mempelajari hal itu, dengan tujuan agar dapat menyelesaikan tugas atau persoalan hidup mereka dengan yang lebih memuaskan. Pendidik memegang tanggungjawab menciptakan kondisi dan menyediakan alat‐alat serta prosedur untuk membantu para peserta didik menemukan kebutuhan atau keingintahuan mereka. Dengan demikian program belajar hendaknya disusun menurut kategori penerapan hidup dan diurutkan sesuai dengan kesiapan belajar peserta didik.
• Orientasi Terhadap Belajar
Para peserta didik melihat pendidikan sebagai suatu proses untuk memperoleh bahan pelajaran, yang sebagian besar mereka anggap hanya akan berguna di kemudian hari. Karena itu kurikulum seharusnya diatur menjadi satuan-satuan pelajaran yang mengikuti urutan logika mata pelajaran bersangkutan. Jadi orientasi mereka berpusat pada mata pelajaran. Sebaliknya dalam andragogi, para peserta didik memandang pendidikan sebagai suatu proses pengembangan kemampuan untuk mencapai potensi kehidupan yang paripurna. Mereka ingin dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan apapun yang mereka peroleh saat ini untuk kehidupan esok yang lebih efektif. Karena itu, pengalaman belajar seharusnya disusun menurut kategori‐kategori pengembangan kemampuan. Jadi orientasi mereka terhadap belajar berpusat pada karya atau prestasi. Dari asumsi dasar tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa:
1. Orang dewasa mempunyai konsep diri, yaitu suatu pribadi yang tidak tergantung kepada orang lain yang mempunyai kemampuan mengarahkan dirinya sendiri dan kemampuan mengambil keputusan.
2. Orang dewasa mempunyai kekayaan pengalaman yang merupakan sumber yang penting dalam belajar.
3. Kesiapan belajar orang dewasa berorientasi kepada tugas‐tugas perkembangannya sesuai dengan peranan sosialnya.
4. Orang dewasa mempunyai perspektif waktu dalam belajar, dalam arti secepatnya mengaplikasikan apa yang dipelajarinya.
C. FUNGSI PENDIDIK ORANG DEWASA.
Pendidik orang dewasa mempunyai fungsi antara lain:
a. Menilai kebutuhan belajar individu, lembaga dan masyarakat untuk pendidikan orang dewasa yang sesuai dengan lingkungan organisasinya (fungsi diagnostik).
b. Menetapkan dan mengelola struktur organisasi untuk pengembangan dan pelaksanaan yang efektif dari suatu program pendidikan orang dewasa (fungsi organisasi).
c. Merumuskan‐tujuan yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang telah ditetapkan, dan merencanakan suatu program kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut (fungsi perencanaan).
d. Menciptakan dan mengawasi prosedur yang diperuntukan bagi pelaksanaan suatu program secara efektif, termasuk memilih dan melatih ketua‐ketua kelompok belajar, tutor, mengatur fasilitas dan proses administrasi, seleksi dan penerimaan pebelajar, dan pembiayaan (fungsi administrasi).
e. Menilai efektivitas program pendidikan yang dilaksanakan (fungsi evaluasi).
D. MISI PENDIDIK ORANG DEWASA
Misi pendidik orang dewasa dapat digambarkan dengan mengaitkan antara kebutuhan dan tujuan individu. Misi setiap pendidik orang dewasa adalah membantu individu untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, membantu individu untuk mengembangkan sikap bahwa belajar itu adalah kegiatan yang berlangsung sepanjang hayat, dan dengan pendidikan itu dapat diperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja secara mandiri serta dapat mengembangkan potensi‐potensi yang kits miliki. Dalam proses belajar ini dapat dimanfaatkan oleh orang dewasa untuk mengembangkan dirinya, baik secara sendiri‐sendiri maupun bersama dengan orang dewasa lainnya. Pendidik orang dewasa dalam merencanakan program pembelajarannya hendaknya didasarkan pada kebutuhan belajar yang diinginkan oleh orang dewasa, tanpa demikian pendidikan orang dewasa akan mengalami kegagalan.
E. TEKNIK DAN METODE PEMBELAJARAN ORANG DEWASA
Penjabaran rancangan belajar ke dalam urutan kegiatan belajar memerlukan adanya pengambilan keputusan mengenai teknik dan bahan belajar apa yang paling bermanfaat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dan selanjutnya menentukan strategi pembelajaran dengan mengikutsertakan peserta. Posisi pelatih dalam proses ini hanyalah sebagai pemberi saran dan sebagai narasumber.
Ada beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan untuk membantu orang dewasa belajar, antara lain:
1. Presentasi. Teknik ini meliputi antara lain: ceramah, debat, dialog, wawancara, panel, demonstrasi, film, slide, pameran, darmawisata, dan membaca.
2. Teknik Partisipasi peserta. Teknik ini meliputi antara lain: tanya jawab, permainan peran, kelompok pendengar panel reaksi, dan panel yang diperluas.
3. Teknik Diskusi. Teknik ini terdidi atas diskusi terpimpin, diskusi yang bersumberkan dari buku, diskusi pemecahan masalah, dan diskusi kasus
Penjabaran rancangan belajar ke dalam urutan kegiatan belajar memerlukan adanya pengambilan keputusan mengenai teknik dan bahan belajar apa yang paling bermanfaat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dan selanjutnya menentukan strategi pembelajaran dengan mengikutsertakan peserta. Posisi pelatih dalam proses ini hanyalah sebagai pemberi saran dan sebagai narasumber.
Ada beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan untuk membantu orang dewasa belajar, antara lain:
1. Presentasi. Teknik ini meliputi antara lain: ceramah, debat, dialog, wawancara, panel, demonstrasi, film, slide, pameran, darmawisata, dan membaca.
2. Teknik Partisipasi peserta. Teknik ini meliputi antara lain: tanya jawab, permainan peran, kelompok pendengar panel reaksi, dan panel yang diperluas.
3. Teknik Diskusi. Teknik ini terdidi atas diskusi terpimpin, diskusi yang bersumberkan dari buku, diskusi pemecahan masalah, dan diskusi kasus
4. Teknik Simulasi. Teknik ini terdiri atas: permainan peran, proses insiden kritis, metode kasus, dan permainan.
F. IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN ORANG DEWASA
Dari asumsi‐asumsi yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa ketiga pendapat tersebut di atas memiliki kesamaan di dalam memandang pebelajar, baik dalam pembelajaran pedagogi maupun andragogi terutama dalam konsep diri, pengalaman, kesiapan untuk belajar, dan orientasi belajar. Oleh karena
itu dapat dikemukakan bahwa dalam pembelajaran orang dewasa perlu diperhatikan hal‐hal sebagai berikut:
1. lklim belajar perlu diciptakan sesuai dengan keadaan orang dewasa. Baik ruangan yang digunakan maupun peralatan (kursi, meja, dan sebagainya) diatur sesuai dengan selera orang dewasa agar dapat memberi kenyamanan bagi mereka. Selain itu, dalam iklim belajar tersebut, perlu diciptakan kerjasama yang sating menghargai antara para peserta dengan peserta lain maupun dengan para pelatih/fasilitator. Ini berarti bahwa setiap peserta diberi kesempatan yang seluas‐luasnya untuk mengemukakan pandangannya tanpa ada rasa takut dihukum maupun dipermalukan. Iklim belajar seperti ini akan sangat tergantung kepada pelatih/fasilitator.
2. Peserta diikutsertakan dalam mendiagnosa kebutuhan belajarnya. Mereka akan merasa terlibat dan termotivasi untuk belajar apabila apa yang akan dipelajarinya itu sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipelajari.
3. Peserta dilibatkan dalam proses perencanaan belajarnya. Dalam perencanaan ini fasilitator lebih banyak berfungsi sebagai pembimbing dan manusia sumber.
4. Dalam proses belajar‐mengajar merupakan tanggungjawab bersama antara pelatih/fasilitator dan peserta. Kedudukan pelatih/fasilitator lebih banyak berperan sebagai manusia sumber, pembimbing dan katalis daripada sebagai guru.
5. Evaluasi belajar lebih menekankan pada cara evaluasi diri sendiri dalam mengetahui kemajuan belajar peserta.
6. Karena orang dewasa merupakan sumber belajar yang lebih kaya dibandingkan anak‐anak, maka proses belajarnya lebih ditekankan kepada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman mereka seperti: kelompok diskusi, metode kasus, simulasi, permainan peran, latihan praktek, demonstrasi, bimbingan konsultasi, seminar, dan sebagainya.
7. Penekanan dalam proses belajar bagi orang dewasa adalah pada aplikasi praktis dan atas dasar pengalaman mereka.
5. Evaluasi belajar lebih menekankan pada cara evaluasi diri sendiri dalam mengetahui kemajuan belajar peserta.
6. Karena orang dewasa merupakan sumber belajar yang lebih kaya dibandingkan anak‐anak, maka proses belajarnya lebih ditekankan kepada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman mereka seperti: kelompok diskusi, metode kasus, simulasi, permainan peran, latihan praktek, demonstrasi, bimbingan konsultasi, seminar, dan sebagainya.
7. Penekanan dalam proses belajar bagi orang dewasa adalah pada aplikasi praktis dan atas dasar pengalaman mereka.
8. Urutan kurikulum dalam proses belajar orang dewasa disusun berdasarkan tugas perkembangannya dan bukan atas dasar urutan logik mata pelajaran atau kebutuhan kelembagaan. Misalnya suatu program latihan orientasi untuk para pekerja baru, bukan dimulai dengan sejarah atau filsafat perusahaan, tetapi dimulai dengan kehidupan nyata yang menjadi perhatian para pekerja baru, seperti: di mana saya harus bekerja, dengan siapa saya bekerja, apa yang diharapkan dari saya, dan sebagainya.
9. Adanya konsep mengenai tugas‐tugas perkembangan pada orang dewasa akan memberi petunjuk dalam belajar secara kelompok. Untuk tugas‐tugas perkembangan, maka belajar secara kelompok yang anggota kelompoknya bersifat homogen akan lebih efektif.
10. Pendidik orang dewasa tidak boleh berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
11. Kurikulum dalam pendidikan untuk orang dewasa tidak berorientasi kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasi kepada masalah. Hal ini karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada masalah dalam orientasi belajarnya.
12. Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi kepada masalah, maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula pada masalah atau perhatian yang ada dalam benak mereka.
9. Adanya konsep mengenai tugas‐tugas perkembangan pada orang dewasa akan memberi petunjuk dalam belajar secara kelompok. Untuk tugas‐tugas perkembangan, maka belajar secara kelompok yang anggota kelompoknya bersifat homogen akan lebih efektif.
10. Pendidik orang dewasa tidak boleh berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
11. Kurikulum dalam pendidikan untuk orang dewasa tidak berorientasi kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasi kepada masalah. Hal ini karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada masalah dalam orientasi belajarnya.
12. Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi kepada masalah, maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula pada masalah atau perhatian yang ada dalam benak mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Amalius Sahide, 1990. Pendidikan Orang Dewasa. Ujungpandang: FIP IKIP
Knowles, Malcolm. 1977. The Modern Practice of Adult Education, Andragogy Versus Pedagogy. New York: Assosiation Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR