Kamis, 18 November 2010

Peran Penyuluh Pertanian Mencemaskan

OLEH: EFFATHA TAMBURIAN

Jakarta - Ke­ber­ada­an penyuluh pertanian beberapa ta­hun terakhir se­makin ti­dak dapat dirasa­kan oleh para petani. Pa­da­hal, petani se­ha­rus­nya ber­hak mendapatkan pen­didikan dan bim­bing­an dari para pe­nyu­luh demi me­ning­­katkan hasil usa­ha dan ke­se­jah­te­raan mereka.

Kurangnya penyuluhan tanpa disadari telah menimbulkan ancaman krisis bagi petani, di mana aki­bat makin tingginya ting­kat kegagalan panen atau sa­ngat rendahnya produktivitas hasil panen maka banyak pe­tani mengalami krisis pangan.


Sungguh ironis, petani yang merupakan produsen pangan bagi masyarakat dan negara, tidak dapat mencu­kupi kebutuhan pangannya sendiri. Hal itu akibat ku­rang­nya pengetahuan petani yang dibiarkan berlarut-larut da­lam menghadapi berbagai ma­salah dalam menjalani usaha tani. Jangankan untuk menjual hasil panennya ke pasar demi mencukupi kebutuhan hidup lainnya, hasil pa­nen un­tuk dikonsumsi sendiri pun ti­dak dapat dipanen oleh petani.
Kondisi tersebut juga di­perparah oleh adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini. Pada kenyataannya, masih ba­nyak petani yang tidak mengetahui tentang dampak dari perubahan iklim dan mun­dur­nya waktu tanam sehingga mereka mengalami gagal panen, akibat kekering­an yang berkepanjangan dan pola tanam yang tidak serentak.
Dampak lainnya, serangan hama merebak begitu hebatnya, dan kembali lagi petani tidak tahu bagaimana harus mengatasi masalah tersebut dengan sesegera mungkin. Di mana peran pemerintah dalam hal ini? Kenapa ketidakpahaman petani ini seolah dibiarkan berlarut-larut? Bagaimana format penyuluh pertanian yang merupakan tanggung jawab pemerintah, baik di pusat hingga daerah?
Seharusnya petani mendapatkan bimbingan dari para penyuluh pertanian. Kenyata­an di lapangan, jumlah penyuluh pertanian semakin lama makin berkurang dan makin tidak sebanding dengan banyaknya desa dan jumlah petani. Hal itu tentunya tidak terlepas dari kesalahan pemerintah saat ini dalam mengatur strategi serta merekrut para penyuluh di bidang pertanian. Bahkan, keberadaan penyuluh pertanian di era rezim Suharto pada kenyataannya jauh lebih baik dibandingkan era pasca­reformasi, dan semakin parah pada era Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama dan kedua yang telah melakukan privatisasi penyuluh pertanian.
Penyuluh pertanian hanya dikontrak (outsourcing) selama 2-3 tahun atau yang disebut dengan Tenaga Harian Lepas (THL), dan setelah itu nasibnya tidak menentu. Ke­bijakan yang sangat buruk itu akhirnya membuat kondisi penyuluh pertanian menjadi porak-poranda. Parahnya, dalam perjalanannya penyuluh banyak yang dipolitisasi, dengan hanya ditempatkan pada wilayah/daerah-daerah konstituen dari rezim yang tengah memerintah.
Pada zaman Orde Baru dikenal adanya Program Bimas/Inmas di mana dalam satu wilayah kerja penyuluh pertanian, yaitu seluas 800.000 hektare (ha) ditempatkan satu penyuluh pertanian. Namun, sejak otonomi daerah, penyuluh yang sebelumya diurus dan mendapatkan gaji dari pemerintah pusat diserahkan ke daerah sehingga keputusan tergantung dari bupati masing-masing daerah. Jika dianggap hanya menghabiskan anggaran dan tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka jumlah penyuluh dikurangi atau seadanya, sebab mereka digaji menggunakan APBD.

Kembali Ditangani Pusat
Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Winarno Tohir menyayangkan sistem THL tersebut, sebab di saat para penyuluh telah dapat beradaptasi dan menguasai masalah, kontrak mereka habis dan harus keluar dari desa tersebut. Sementara itu, penyuluh THL yang baru yang datang kemudian tidak mengetahui apa pun tentang permasalahan petani.
Untuk itu, ke depannya, penyuluh pertanian seharusnya dikembalikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Anggaran penyuluh dikembalikan ke pusat, dan DAK untuk daerah dikurangi sehingga penyuluh seperti dulu lagi. Pemerintah daerah tidak punya kewajiban terhadap pengadaan penyuluh, hanya menentukan berapa kebutuhannya sehingga penyuluh pertanian mendapatkan gaji dari pusat. Selain itu, dengan gaji penyuluh THL yang lebih besar (lebih dari Rp 2 juta per bulan) dibandingkan penyuluh PNS (lebih dari Rp 1 juta) namun mendapatkan pensiunan, telah menimbulkan kecemburuan dan kesalahpahaman.

Penyuluh Swadaya
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi pada suatu kesempatan kepada SH mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) akan mengatur kembali format penyuluh pertanian untuk menggantikan sistem kontrak penyuluh sebagai THL yang diterapkan pada pemerintahan sebelumnya atau selama 2-3 tahun terakhir.
Ke depannya, pemerintah akan mengembangkan penyuluh swadaya yang berasal dari petani berhasil, serta akan dibangun kerja sama dengan pihak perbankan maupun perusahaan-perusahaan pestisida dan benih. Penyuluh swadaya bukan lagi bersifat honorer sehingga tidak lagi mendapatkan honor, melainkan biaya operasional penyuluhan. Pada pola THL bagi lulusan sarjana, jumlah honor Rp 2 juta, sarjana muda (D3) Rp 1,7 juta, dan sekitar Rp 1 juta untuk lulusan sekolah menengah atas dan setaranya.
Penyuluh THL yang direkrut selama periode 2007-2009  berjumlah 24.608 orang akan diseleksi sesuai dengan persyaratan dan formasi yang ditentukan pemerintah untuk diangkat menjadi PNS. Tetapi untuk pengangkatan THL masih menunggu PP baru yang merevisi PP No 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honor.
Keberadaan penyuluh pertanian itu sangat penting bagi pencerahan petani. China misalnya, sudah melakukan pelayanan administrasi pertanian, keorganisasian, dan sifatnya jangka panjang. Indonesia  juga mestinya menyadari bahwa tenaga penyuluh pertanian tidak bisa dengan sistem kontrak berupa THL seperti sekarang, tetapi harus dibangun dalam pola jangka panjang. Dengan demikian pemerintah memberikan pelayanan bagi petani, perlindungan, serta pemenuhan hak-hak petani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR

Arsip Blog

Entri Populer

VIDEO